Sunday, September 22, 2013

Saatnya Bercinta & Bersedih


Sebuah Awal di Dekatmu

Jejak baru ingin kupijak. Saat ada teduh kutemukan di
matamu. Saat ceria kureguk bisu di dekatmu.

Ada getar yang membaur dalam desah dan bilur syahdu
mengeram dalam hasrat.
Tapi luka ini masih menganga. Penantian panjang yang
kujerat, ditelan mimpi kosong tak terjawab. Lara dan
pedih mengukir di ujung tangis yang tak berair. Masa lalu
pahitku tak lelah menghantui barisan hariku.

Ingin segera kutumpahkan segalanya pada pundak juwita
yang rela menyambutku tanpa tanya yang merajuk.
Mungkinkah? Sementara ragu mengulum dambaku
kembali tiada, hadirmu menggugahku untuk tertawa,
tiba-tiba. Menciumi bahagia meski baru sekejap.

Bisakah perjumpaan sesaat menjadi awal yang menuntun
getar pada tali kasih? Menjadi dua tiang dan jembatan
tanpa sebab. Menyemai arti dan menggamit mimpi,
bersamamu.


Biarkan Saja
Inikah sebuah pertanda? Pertama kali tatapku yang
bergulir nyata pada beningnya matamu, telah memasung
bahagiaku tanpa ampun. Tak peduli seberapa lemah getar
itu menyisir kalam batinku. Aku hanya tahu, ada rindu
yang kujaga untukmu.

Sampai detik ini, gersang dambaku merajuk senyap
di tempias lugu sapamu. Terpendar mencipta bintang
yang membiaskan terang pada teduh dua bola matamu.
Tiba-tiba, rinduku begitu telak menusuk kesendirianku.
Membawa anganku bergerak membingkai wajahmu
seketika. Detik ini, tak ada yang kuinginkan selain
menatap derai indah tawamu.

Mestinya, tak kubenamkan segala damba padamu.
Tapi ada daya, perjumpaan sesaat yang menyekat
sapaku terkurung di ruang hatimu, telah menggiring
mataku luluh dalam rindu. Tiba-tiba menjelma nyata,
memaksaku takluk dalam cinta yang menyulut bahagia
baru.

Biarpun sepi tak usai dan terus menyergap sadarku
dari keterasingan. Tapi setidaknya, aku mulai sadar…
rinduku pun tak juga usai. Merapal namamu dari jerit
ketakutanku. Menyesatkan cintaku yang tak surut
memamah usia. Mencatut hatimu menjadi satu-satunya
yang terindah, untukku…! Apakah ini nyata atau…
semu? Apakah ini janji atau sekedar ilusi? Hanya
palung batinmu yang mampu mengurai. Aku hanya
mengibarkan bendera tanda, selebihnya dirimulah yang
mesti mengulur bening talinya, untukku…

Dan, biarkan ini menjadi cinta, jika ini adalah segenap
rasaku yang berbicara. Biarkan ini menjadi nyata, jika ini
adalah hatiku yang jadi jembatannya. Biarkan ini menjadi
bahagia, jika ini adalah jalannya. Biarkan bahagia itu
sendiri yang mengurai segala warasku menjadi ada. Yang
pasti, bahagiaku ini ada untuk jadi nyata, bukan sia-sia…


Sepi Lagi
Selepas malam menggelayut gelap.
Sepiku merambah bayanganmu.
Beranjak pekat dalam kubang rindu yang tiba-tiba
menghanyutkanku.
Untuk mendesiskan namamu, dan mencipta wajahmu
seketika.
Tapi kenapa hanya kosong yang kudekap.
Jejak rindu berkelok pongah di ujung keakuannya.
Tanda cintamu masih saja berpihak pada langit semu.
Memaksa rinduku menepi dalam basi.

Sepertinya tak ada yang tersisa dariku selain rasa yang
menjerit dalam bejana asa yang merapal sedih.
Mata terantuk kosong, bibir kelu tanpa sapa.
Dan sekujur tubuh lunglai dalam dalam kepasrahan pilu.
Mungkinkah semua akan menciumi kefanaan dan
berakhir sia-sia?
Jika iya, lebih aku pergi dan memuja sepi untuk ke sekian
kalinya.


Menjamu Sedihmu
“Aku selalu berharap dia datang dan tiba-tiba rebah manja
Di dekatku, detik ini. Andai dambaku menjadi nyata-kan
kutuang kangen tanpa sisa…”

Kemarin, kalimat panjang itu kutulis dan kualamatkan
hanya untukmu. Dengan penuh pengharapan, inginku
menghabiskan barisan detik yang berlalu didekatmu.

Hari ini, kangenku menggugat lagi dan mendakwa tanpa
kompromi. Tapi justru sedih yang melukis lugu wajahmu.
begitu dalam kesedihan menguruk mimpi indah
yang bersemayam dalam lenamu, hingga ku tak kuasa
membendung tangismu.

Menangislah, Sayang…aku tak akan kemana. Kan
kujaga setiaku dalam sedih dan tawamu. Kan kujamu
setiap incin kesedihan dan kebahagiaan yang menggantung
di pelupuk dua bening matamu.

“Ditempias kangen yang menggugat sepi meraja,
kucoba merasakan dan mengendapkan kesedihanmu.
hanya maafku yang tersisa karena aku tak ada di sana
bersamamu.”


Semoga Nyata
Detik yang kupeluk, telah menyekat mataku pada
detak jam yang menunjuk angka 04.28 dini hari. Ada sunyi
Yang tiba-tiba hadir…
memaksaku terdiam sejeak dalam bius cakrawala pagi
tanpa kata-kata.

Satu detik melaju tanpa kusadari…
Satu menit melibas anganku tanpa apa-apa…

Dan…
Saat kupasung mataku dalam tidur lena, semua tampak
Begitu nyata. Dalam mimpiku, kutamui kau dengan
senyum menjelma. Apa adanya dan seutuhnya.
Meninggalkan sepotong kangen yang merenggut sadarku
ketika matahari membiaskan sinar kemilaunya di balik
jendela.

Ah, sedang apa dia?
Semoga saja awan yang berarak membawa pesan
kangenku yang kini mulai setia dalam alurnya. Semoga
ia tetap menjadi pria biasa yang membiarkan tubuhnya
sedikit basah oleh hujan senja. Ketika itu, ia begitu
memesona…

Semoga saja ini nyata…


Jika Selamanya
Apakah ini saatnya untuk membunuh perasaanku.
Melepaskan segala rindu yang mengendap menjadi debu
beterbangan, bersatu bersama langit yang membentang,
Apakah aku mampu? Sementara perasaan ini telah
menjelma prasasti yang membatu. Hidup di segala adaku.
Dalam diam, jarak, bahkan luka sekalipun.

Betapa susah memahami arti diri. Betapa sulit menyelami
maunya hati. Jalan membentang bertabur kasing yang
kugelar, tak juga membuatmu bergeming, segala adaku
telah kubuka untukmu tanpa tirai sehelai pun.

Jika memang akhirnya aku harus membunuh perasaan
ini, izinkan aku untuk tetap mengenangmu. Tidak
juga karena apa, cinta sejati tak bisa dibunuh pun
bunuh diri. Dia akan tetap mengalir di setiap alunan
nada kasih yang menggema di jagad maya. Izinkan aku
tetap mencintaimu, walau hanya dalam diam, dalam
senyap. Hingga suratan takdir membukakan rahasia
kalamnya. Mungkin hanya dengan cara itu, aku bisa tetap
mencintaimu. Walau mungkin, tak pernah nyata juga
akhirnya.

Ada jera menderu dalam kalap cintaku. Merobek
janji hati yang memahat batu. Kobar rindu yang
pernah memanaskan tungku di ujung penantian ini,
perlahan meleleh dalam ego yang mulai runtuh. Dingin
menghanyutkan di ruang hampa. Hanya bisa mendesis
panjang menyebut namamu, tapi tersia-sia. Luruh bersatu
dengan tanah. Haruskah jera ini menguntit di sendiriku
yang makin mematikan? Dalam cengkeraman rindu
mendendam. Sekerat di batas mimpi semu.

No comments:

Post a Comment