Wednesday, October 23, 2013

Cinta Dalam Sepotong Cerita



Kepada Kamu, Cinta Itu

“Andai saja cinta itu, kamu. . .
pasti aku rela menyerahkan kepadamu, cinta itu.”

Masih ingatkah dengan sepotong kalimat itu? Tanpa tahu
dari mana datangnya kekuatan itu, dengan lancang aku
tulis untukmu. Dan kelancanganku itu ternyata berbuah
anugerah terindah bagiku karena tahu-tahu, kita
menjelma sepasang manusia yang saling bertukar cerita
demi cerita tanpa melalui perjumpaan nyata.

Memang terdengar absurd! Tapi itulah kita. Hanya
dengan sapa yang teretas di kala pagi dan senja yang
menjemput, kau dan aku tiba-tiba menjadi dekat.
Perlahan tapi pasti, endapan ‘rasa’ itu telah membentuk
gugusan bintang warna-warni yang memamerkan binar-
binar ceria

Tapi, kalau boleh aku bertanya: begitu bermaknakah
perjumpaan nyata buatmu? Kita beradu pandang tanpa
sekat jarak dan waktu, mengeja dalamnya diri dengan
praduga. Ahhh… tidak juga ternyata. Hanya lewat sapa
yang meretas di kala senja menjelma dan di saat mata
mulai terantuk di ujung kantuk, hadirmu melebihi wujud
bidadari. Setidaknya, dalam persepsi yang kucipta.

Lalu, selalu saja kucari-cari jejakmu di mana pun itu,
tanpa ragu. Meski hanya sekedar semu bayangmu,
yang kucetak dalam lamunku. Kenapa hadirmu yang
secepat embun itu menancapkan gelisah hingga aku tak
mampu melukiskan kekuatan apa sebenarnya yang telah
menggerogoti perasaanku?!

Ternyata, rasa itu datang begitu saja tanpa rencana. Tahu-
tahu, hadirmu yang sekejap menguras anganku tunduk
dalam syahdunya kata-kata yang memuja keindahan.
Tentangmu, bukan siapa-siapa, ternyata!!!

Tak ingin kulari, tak ingin kuingkari. Sama saja kukhianati
diri bila itu kulakukan. Mengapa? Ehhmmm… aku tak
perlu bertanya. Semestinya, biarkan saja semua mengalir
seperti air dan bermbus seperti angin. Air yang selalu
mengalir menuju muaranya, dan angin yang setia
menggelitik dedaunan senandung ninabobo.

Itulah kita! Menggurat cerita baru begitu saja. Tak peduli hari
telah mengetuk di bibir pagi. Tak peduli, jemari kita
belum saling menggenggam sampai detik ini. Yang aku
tahu, cerita itu ada. Cerita kita berdua, kau dan aku.

Siapa yang menyangka, tahu-tahu,
          “kita berdiri berjajajr menjelma sepasang pohon
                   bambu…
                             menjadi taing dan jembatan tanpa
                                      sebab…”

Aku ingin kamu tahu. Jelaga matamu telah membawaku
pada keindahan yang bertubi. Menyudutkanku di batas
damba yang merasuk maju tanpa henti. Jika ini realitas,
aku tak mau berhenti dan membiarkannya jadi basi.

Kepadamu, cinta itu. Kuyakin, pasti. Jika itu jawaban
yang ingin kausimpan untuk cerita indahmu, hari ini,
esok atau nanti. Seperti harapku yang ingin tenggelam
dalam magismu di senja yang mulai mengatup.
Merebahkan emosi dalam tatap ceria yang terpendar dari
indah dua bola matamu. Betapa bahagia ingin kuletupkan
sejuta puisi keindahan untuk setiap inci kenangan
yang telah tercipta detik itu. Merengkuhmu di timang
matahari yang mulai menguning, dan luluh dalam dahaga
rindu yang mengeletup bisu.

Semoga ini nyata dan bukan sia-sia…!

Yang pasti,
hadirmu membuatku termangu.

Dan,
maafkan jika aku tak mampu lagi menyembunyikan
perasaan ini. Maafkan jika aku selalu ingin
menyemayamkan wajahmu dalam asa yang tak henti
membasuh sepiku. Maafkan jika aku selalu menyulam
benang rindu di setiap jejak yang kupijak.

Seperti pagi ini,
maafkan jika ku tak mampu menahan rindu yang
bergejolak
hingga mata ini enggan terlelap
sampai bisa kubingkai indah matamu dalam mimpiku.

Kepada Sepi: yang Membunuhku
Aku bernapas dalam-dalam sambil memandang
jauh ke arah laut lepas. Ramai pejalan kaki dan lalu lalang
kendaraan menjadi pemandangan yang sejenak menyekat
pikiran.

Sejenak, desau roda kendaraan menyapu jalanan.
Menyadarkanku dari kesendirian. Sesaat aku terombang-
ambing di kursi kayu. Bertanya untuk apa aku di sini
seorang diri. Berada di antara ratusan pejalan kaki yang
melenggang bergandengan dengan menyungging senyum,
menebar tawa kegembiraan.

Sejenak, aku dihinggapi rasa iri yang menusuk dalam,
menggerogoti logika warasku tanpa perlawanan ketika
kudapati puluhan pasang mata berbinar duduk dibuai
kemesraan. Adan aku masih sendiri terpaku tanpa teman,
tanpa siapa-siapa.

Betapa menyesakkan hidup sepi di tengah keramaian.
Melintas detik demi detik dengan hanya berpelukan
pada asa yang tersisa, menggantungkan angan hanya
pada bayang-bayang semu, pudar lalu tercerai-berai
bersama awan. Asa tentangmu yang tak kunjung padam
kurengkuh meski dalam ketidakpastian. Bayang-bayang
semumu yang tak lelah kugapai di ujung tebing keraguan
beralaskan sembilu tajam.

Bilakah ada sedetik masa untukku dan untukmu
merangkai kembali barisan cerita rindu yang sempat
tertunda. Mungkinkah datang setitik nyala api yang
bisa mengobarkan waras jiwamu, membuka satu pintu
untukku. Biar bisa kulukis lagi lautan dengan senandung
keindahanmu. Biar bisa kuhias jalanan Kuta Bali dengan
renyah tawa senyummu. Biar rasa iri di dadaku sirna,
biar sendiriku tak hampa dalam keramaian.

Tapi mungkinkah cerita itu berulang? Sementara sampai
detik ini, di sendiriku yang bersandar pada langit kelam
dan gerimis yang satu-satu datang, aku masih saja
mematuk bayang-bayang, menggurat kesepian tanpa arah.
Hanya angin, pasir, dan deru kendaraan yang kucium
hambar.