Wednesday, September 25, 2013

Jangan Bodoh Mencari Jodoh

Berbicara jodoh, memang tiada habisnya. Sebagian besar manusia Indonesia adalah tipe manusia yang pasrah terhadap takdir jodoh mereka. Mereka beranggapan bahwa hidup, jodoh, dan mati sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Mereka melupakan bahwa Sang Mahakuasa adalah setinggi-tinggi-Nya Kuasa yang mampu melakukan apa saja. Bahkan mengubah takdir yang sudah DIA tuliskan untuk manusia. Tetapi hal ini tidak banyak disadari oleh manusia, hingga pada akhirnya mereka menyerah dan pasrah menerima apa takdir mereka. Mereka berdalih itulah yang namanya ikhlas menerima kehendak-Nya. Padahal “ikhlas menerima kehendak-Nya” hanya berlaku bagi mereka yang sudah berusaha, ikhtiar sampai batas akhir kemampuan mereka, ditambah ibadah dan amalan-amalan lainnya. Jadi bagi mereka yang berdalih “ikhlas menerima kehendak-Nya” tetapi hanya bermalas-malasan, dan tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki dirinya adalah manusia yang merugi dan terlalu banyak excuse atau alasan.

Beberapa orang menjadi sensitif ketika kata jodoh mampir di telinga mereka. Entah karena sudah frustasi atau memang pernah tersakiti. Tetapi inilah realitas dan takdir yang sudah digariskan untuk semua makhluk ciptaan-Nya, bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Tak terhitung berapa banyaknya tokoh rekaan maupun nyata yang diceritakan sebagai mereka yang berpasangan. Sebut saja ada Rama-Sinta, Romeo-Juliet, Adam-Hawa. Tokoh-tokoh yang digaris hidupnya ditakdirkan untuk saling mengisi satu sama lain, dan dituliskan untuk saling melengkapi satu dengan lainnya.

Namun, kenapa jika sudah ada ketetapan dari-Nya tentang jodoh kita, masih banyak di antara kita yang ragu akan jodohnya masing-masing? Masih khawatir dan sangat sering bersikap tidak rasional? Seorang teman pernah mengeluh kepadaku. Dia dan pacarnya sudah pacaran hampir empat tahun, tetapi di tahun kelima mereka putus karena si wanita dijodohkan oleh orangtuanya. Dia sangat terpukul akibat kejadian tersebut. Apa jodoh yang menentukan orangtua? Dengan keyakinan 100 persen, aku jawab TIDAK. Orangtua kita hanyalah perantara atau media dari keputusan Allah swt tentang jodoh kita. Walaupun, orangtua memaksa bagaimanapun, jika dia bukan jodoh kita yang sudah dituliskan-Nya, kita tidak akan berjodoh dengannya. Hanya percayakan pada-Nya kalau jodoh untuk kita sudah disiapkan yang terbaik. Disiapkan yang benar-benar sesuai dengan kapasitas kita. Sesungguhnya yang benar-benar mengerti kapasitas kita dengan amat baik hanyalah Dia..

Jodoh untuk orang-orang baik adalah mereka yang baik pula. Bagaimana dengan orang yang tidak baik atau belum baik? Ya, jodohnya adalah mereka yang tidak baik atau belum baik. Jangan protes dulu sebelum baca penjelasan saya berikutnya.

Kadang kita heran, soalnya aku pun sendiri juga sangat heran ketika jalan-jalan di mal, di tempat keramaian, kita sering mellihat pasangan yang bahasa kasarnya jomplang(tidak seimbang). Kadang ceweknya cantiiiiiik banget tetapi cowoknya kurang ganteng. Atau sebaliknya. Bahkan mungkin yang lebih ekstrem, cowoknya sudah tua renta, sementara si cewek masih bugar layaknya anak SMA. Langsung saja dalam hati kita men-judge pasangan tersebut sebagai pasangan yang tak adil. Kenapa tak adil? Karena kita merasa yang lebih tampan atau cantik seharusnya mendampingi cewek cantik atau cowok tampan yang kita lihat. Sebenarnya itu pandangan yang keliru, karena apa yang kita lihat, itu hanya bagian luarnya saja. Bagian dari permukaan mereka. Seperti gunung es, yang hanya terlihat sepertiga bagian kecilnya di permukaan tetapi menyisakan dua pertiga bagian besarnya di bawah permukaan.

Jika kita tidak ingin karam seperti Titanic, janganlah kita men-judge orang dari penampilannya saja. Mungkin dia kurang tampan, tapi di sisi lain ibadahnya mungkin bagus, sedekahnya hebat, atau mungkin dia laki-laki dengan kadar kesetiaan tiada tara. Who Knows? Jadi, tidak usah protes dan jangan sirik lagi kalau melihat pasangan yang kita anggap jomplang. Kalau kita terus-terusan protes dan sirik, yang pertama kita dapat dosa, yang kedua jodoh idaman pun enggan mampir ke kita.

Misalnya kita terlahir dengan paras pas-pasan, harta pas-pasan, dan juga kelakuan pas-pasan. Lantas apakah kita mengharap jodoh yang “pas-pasan” juga? Maksudnya, pas dilihat menarik (tampan/cantik), pas butuh sesuatu, dia ada duit, pas kita butuh support, dia ada. Salah atau tidak? Tidak Slah. Apa takdir atau nasib bisa diubah? Bisa banget. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini. Tapi apa kita hanya diam dan menunggu jodoh impian kita dan dia akan datang menghampiri kita? Ini hal yang salah! Jika kita ngerasa ada yang kurang dalam diri kita dan kita mengharap jodoh yang lebih, sebenarnya gampang. Tingkatkan level kita sama seperti jodoh yang kita dambakan. Misalnya, shalat kita masih bolong-bolong, tetapi kita berharap punya jodoh yang rajin ibadah, rajin shalat, dan lain-lain. Pelan-pelan kita harus pantaskan diri untk jodoh kita tersebut. Tingkatkan shalat kita, biasakan sedekah, rajin-rajin baca Al-Qur’an. Atau misalnya kita berharap jodoh yang cantik atau tampan, tetapi kita sendiri lihat kaca kadang ogah karena gitu-gitu aja. Kalau wajah atau paras tidak bisa diubah, yang kita ubah adalah ketampanan dan kecantikan akhlak kita, kecantikan perilaku kita, kecantikan otak kita, dan lain-lain. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Selalu ada kemudahan bagi mereka yang sungguh-sungguh mengusahakannya, dan berjuang untuknya.


Jodoh itu tidak ditunggu, tetapi kitalah yang harus menjemput jodoh kita. Tidak perlu lari, tidak perlu naik tangga, cukup pantaskan diri kita seperti jodoh yang kita harapkan. Pantaskan diri kita seperti jodoh yang kita dambakan. Mustahil satu gelas kecil berharap menampung air satu galon, kalau kita berharap menampung air satu galon, jadikan diri kita seperti ember yang mampu menampungnya. Jadi, mulai sekarang tetapkan seperti apa jodoh dambaan kita. Dari kriteria yang sudah kita tetapkan, kita dapat mengukur diri kita sendiri seperti apa kita harus tingkatkan kualitas diri kita. Jangan banyak mikir dan menunda, sudah tuliskan saja dulu. Menulis itu tidak perlu bingung, tuliskan saja seperti kita menulis catatan sehari-hari kita. Ambil pensil atau bolpoin, ambil kertas, sudah. Tuliskan apa yang ada dipikiran kita dulu.

Sunday, September 22, 2013

Saatnya Bercinta & Bersedih


Sebuah Awal di Dekatmu

Jejak baru ingin kupijak. Saat ada teduh kutemukan di
matamu. Saat ceria kureguk bisu di dekatmu.

Ada getar yang membaur dalam desah dan bilur syahdu
mengeram dalam hasrat.
Tapi luka ini masih menganga. Penantian panjang yang
kujerat, ditelan mimpi kosong tak terjawab. Lara dan
pedih mengukir di ujung tangis yang tak berair. Masa lalu
pahitku tak lelah menghantui barisan hariku.

Ingin segera kutumpahkan segalanya pada pundak juwita
yang rela menyambutku tanpa tanya yang merajuk.
Mungkinkah? Sementara ragu mengulum dambaku
kembali tiada, hadirmu menggugahku untuk tertawa,
tiba-tiba. Menciumi bahagia meski baru sekejap.

Bisakah perjumpaan sesaat menjadi awal yang menuntun
getar pada tali kasih? Menjadi dua tiang dan jembatan
tanpa sebab. Menyemai arti dan menggamit mimpi,
bersamamu.


Biarkan Saja
Inikah sebuah pertanda? Pertama kali tatapku yang
bergulir nyata pada beningnya matamu, telah memasung
bahagiaku tanpa ampun. Tak peduli seberapa lemah getar
itu menyisir kalam batinku. Aku hanya tahu, ada rindu
yang kujaga untukmu.

Sampai detik ini, gersang dambaku merajuk senyap
di tempias lugu sapamu. Terpendar mencipta bintang
yang membiaskan terang pada teduh dua bola matamu.
Tiba-tiba, rinduku begitu telak menusuk kesendirianku.
Membawa anganku bergerak membingkai wajahmu
seketika. Detik ini, tak ada yang kuinginkan selain
menatap derai indah tawamu.

Mestinya, tak kubenamkan segala damba padamu.
Tapi ada daya, perjumpaan sesaat yang menyekat
sapaku terkurung di ruang hatimu, telah menggiring
mataku luluh dalam rindu. Tiba-tiba menjelma nyata,
memaksaku takluk dalam cinta yang menyulut bahagia
baru.

Biarpun sepi tak usai dan terus menyergap sadarku
dari keterasingan. Tapi setidaknya, aku mulai sadar…
rinduku pun tak juga usai. Merapal namamu dari jerit
ketakutanku. Menyesatkan cintaku yang tak surut
memamah usia. Mencatut hatimu menjadi satu-satunya
yang terindah, untukku…! Apakah ini nyata atau…
semu? Apakah ini janji atau sekedar ilusi? Hanya
palung batinmu yang mampu mengurai. Aku hanya
mengibarkan bendera tanda, selebihnya dirimulah yang
mesti mengulur bening talinya, untukku…

Dan, biarkan ini menjadi cinta, jika ini adalah segenap
rasaku yang berbicara. Biarkan ini menjadi nyata, jika ini
adalah hatiku yang jadi jembatannya. Biarkan ini menjadi
bahagia, jika ini adalah jalannya. Biarkan bahagia itu
sendiri yang mengurai segala warasku menjadi ada. Yang
pasti, bahagiaku ini ada untuk jadi nyata, bukan sia-sia…


Sepi Lagi
Selepas malam menggelayut gelap.
Sepiku merambah bayanganmu.
Beranjak pekat dalam kubang rindu yang tiba-tiba
menghanyutkanku.
Untuk mendesiskan namamu, dan mencipta wajahmu
seketika.
Tapi kenapa hanya kosong yang kudekap.
Jejak rindu berkelok pongah di ujung keakuannya.
Tanda cintamu masih saja berpihak pada langit semu.
Memaksa rinduku menepi dalam basi.

Sepertinya tak ada yang tersisa dariku selain rasa yang
menjerit dalam bejana asa yang merapal sedih.
Mata terantuk kosong, bibir kelu tanpa sapa.
Dan sekujur tubuh lunglai dalam dalam kepasrahan pilu.
Mungkinkah semua akan menciumi kefanaan dan
berakhir sia-sia?
Jika iya, lebih aku pergi dan memuja sepi untuk ke sekian
kalinya.


Menjamu Sedihmu
“Aku selalu berharap dia datang dan tiba-tiba rebah manja
Di dekatku, detik ini. Andai dambaku menjadi nyata-kan
kutuang kangen tanpa sisa…”

Kemarin, kalimat panjang itu kutulis dan kualamatkan
hanya untukmu. Dengan penuh pengharapan, inginku
menghabiskan barisan detik yang berlalu didekatmu.

Hari ini, kangenku menggugat lagi dan mendakwa tanpa
kompromi. Tapi justru sedih yang melukis lugu wajahmu.
begitu dalam kesedihan menguruk mimpi indah
yang bersemayam dalam lenamu, hingga ku tak kuasa
membendung tangismu.

Menangislah, Sayang…aku tak akan kemana. Kan
kujaga setiaku dalam sedih dan tawamu. Kan kujamu
setiap incin kesedihan dan kebahagiaan yang menggantung
di pelupuk dua bening matamu.

“Ditempias kangen yang menggugat sepi meraja,
kucoba merasakan dan mengendapkan kesedihanmu.
hanya maafku yang tersisa karena aku tak ada di sana
bersamamu.”


Semoga Nyata
Detik yang kupeluk, telah menyekat mataku pada
detak jam yang menunjuk angka 04.28 dini hari. Ada sunyi
Yang tiba-tiba hadir…
memaksaku terdiam sejeak dalam bius cakrawala pagi
tanpa kata-kata.

Satu detik melaju tanpa kusadari…
Satu menit melibas anganku tanpa apa-apa…

Dan…
Saat kupasung mataku dalam tidur lena, semua tampak
Begitu nyata. Dalam mimpiku, kutamui kau dengan
senyum menjelma. Apa adanya dan seutuhnya.
Meninggalkan sepotong kangen yang merenggut sadarku
ketika matahari membiaskan sinar kemilaunya di balik
jendela.

Ah, sedang apa dia?
Semoga saja awan yang berarak membawa pesan
kangenku yang kini mulai setia dalam alurnya. Semoga
ia tetap menjadi pria biasa yang membiarkan tubuhnya
sedikit basah oleh hujan senja. Ketika itu, ia begitu
memesona…

Semoga saja ini nyata…


Jika Selamanya
Apakah ini saatnya untuk membunuh perasaanku.
Melepaskan segala rindu yang mengendap menjadi debu
beterbangan, bersatu bersama langit yang membentang,
Apakah aku mampu? Sementara perasaan ini telah
menjelma prasasti yang membatu. Hidup di segala adaku.
Dalam diam, jarak, bahkan luka sekalipun.

Betapa susah memahami arti diri. Betapa sulit menyelami
maunya hati. Jalan membentang bertabur kasing yang
kugelar, tak juga membuatmu bergeming, segala adaku
telah kubuka untukmu tanpa tirai sehelai pun.

Jika memang akhirnya aku harus membunuh perasaan
ini, izinkan aku untuk tetap mengenangmu. Tidak
juga karena apa, cinta sejati tak bisa dibunuh pun
bunuh diri. Dia akan tetap mengalir di setiap alunan
nada kasih yang menggema di jagad maya. Izinkan aku
tetap mencintaimu, walau hanya dalam diam, dalam
senyap. Hingga suratan takdir membukakan rahasia
kalamnya. Mungkin hanya dengan cara itu, aku bisa tetap
mencintaimu. Walau mungkin, tak pernah nyata juga
akhirnya.

Ada jera menderu dalam kalap cintaku. Merobek
janji hati yang memahat batu. Kobar rindu yang
pernah memanaskan tungku di ujung penantian ini,
perlahan meleleh dalam ego yang mulai runtuh. Dingin
menghanyutkan di ruang hampa. Hanya bisa mendesis
panjang menyebut namamu, tapi tersia-sia. Luruh bersatu
dengan tanah. Haruskah jera ini menguntit di sendiriku
yang makin mematikan? Dalam cengkeraman rindu
mendendam. Sekerat di batas mimpi semu.

Monday, September 16, 2013

Terlelaplah Dalam Bahagia



Sekiranya cinta melukis bahagiamu malam ini,
aku inginkan ia setia mendampingimu di setiap jejakmu
Menjagamu dari setiap luka yang coba mengecupmu

Semoga cinta selalu ada untukmu, secukupnya
Tak kurang tak lebih
Semoga senyum mendakwa indah dalam tidurmu


Bermalam-malam telah kusisakan separuh mimpi
indahku, untukmu
Hanya karena aku tak mau kau disekap gelisah yang
mengasuh pilu

Izinkan aku, menitipkan kata “selamat tidur” untukmu
dan tersenyumlah...
Karena itu telah cukup bagiku
Bahkan, lebih dari cukup untuk bahagiaku
Berbahagialah dalam tidurmu, malam ini.


Sampai mata ini enggan terlelap dalam rayuan mimpi,
aku masih saja berharap bisa mendengar bisik lembutmu
mengusik sepi
Menelusup tiba-tiba tanpa permisi

Meski lelahku telah menembus batas kantuk,
tak jua bisa kutepikan kangenk walau sekejap
Merama-rama di langit kamar,
mengundang bayangmu untuk hadir, lagi


Sepotong kebersamaan telah mencetak jejak yang
begitu berarti
Menggurat cerita rindu pada dinding jiwa yang terpatri
Tak ada kata basi!

Begitu jarak menyekat tatap, ingin ku segera kembali
Bersandar manja di bahumu
dan tidur terlena dalam genggaman jemarimu
Andai itu terjadi.


Hingga kata-kata tak lagi mampu bicara
Geliat desah manja menguap dengan sengaja
Di jemari pagi, kutilas lagi bahagianya hati memapah
cintamu dalam barisan hari tanpa henti

Tak sabar ingin kubersandar dan rebah lelap di dadamu
Menumpahkan dan meluluhkan kangen yang
bersemayam tak mau padam
Menangis dan tertawa dalam bahagia di atas namamu,
Seorang


Sadarku makin nyata
setiap kali kuantarkan engkah rebah manja
dalam pelukan mimpi surga diiringi doa-doa
yang ditasbihkan

Bahwa ternyata,
hanya pada kepasrahan tanpa syarat
hati kita saling bertaut
Dan pada Tuhan yang punya kuasa hidup
Kita pasrahkan diri


Jelajahi lautan hatimu,
menebar keteduhan pada binar mata yang mengepung
gulita malammu

Kuingin baikmu, kuingin syahdumu
Membilas segala penat,
merobek kelabunya diri dengan senyum malaikat
Jaga diri, selamat berlabuh di pelangi nirwana malam ini


Melibas gelisah, memamah resah pada gerimis yang basah
Terlupa semua khayalku akan rekah bahagia yang masih
bersembunyi pada arakan risau lemah
Meniti tak pasti di jembatan hatimu, mnguras lelah
yang menjamah

Dan...
Aku masih betah menunggu matamu yang selalu indah
hingga mata ini takluk rebah dalam buaian mimpi indah
merekah

Jiwa-jiwa yang Patah



Mungkinkah ada secuil kebahagiaan ketika kehampaan
setia kucacah di ujung luka yang belum mengiring.
Hampa yang mengendus nelangsa dan selalu berakhir
dalam genangan kecewa yang memuja sia-sia. Mengais
pilunya hati tanpa tahu kemana mesti mencari obatnya.

Tergopoh dibilas sedu sedan tangis yang ingin segera
kubasuh dengan senyum merona. Melibas pahit yang
kautinggalkan, menelaah hati baru yang mungkin datang menjelang.
Siapa tahu di suatu masa, kutemukan setitik cinta bersemi
Tanpa tanda tanya. Datang dengan lugunya, menawarkan
terang di balik gelap yang mendekapku dalam titik hitam
yang memanjang.

Setidaknya aku masih punya mimpi yang coba
kuwujudkan dalam damba, meski hanya menepis pada
getar ilusi belaka.
Semoga...


Sepertinya menikam diri sendiri tanpa sakit menjerit.
Kutelan pedih karena mencintai dirimu yang hanya
meninggalkan serpihan lara. Kaupagutkan hatimu pada
orang lain ketika kat asetia kujaga di atas pengharapan
satu-satunya. Tiada ingin kuakhirkan jejak cintaku selain
kepadamu. Tapi kini segalanya telah cukup. Selama ini
kau hanya memberiku mimpi belaka, lain tidak. Aku
pergi kesana terlalu mencintaimu, itulah akhirnya.

Biarlah rasa ini kupendam mati. Dan jangan kau pernah
bertanya meski ada ruang untuk kembali. Aku yang
memualakan, aku juga yang harus meniadakan. Dari tiada
menjadi ada, dari ada emnjadi tiada. Meski jerit sakitku
tak berbuah tangis, jiwaku merapal duka yang meraja di
atas bahagiamu.

Selamat Tinggal!

 
Menyeka segala lara yang menguntit pada malam gelap
Merobek indahnya cerita mencintai dan menantimu

Sapa yang kuruntut pada deretan hari tak menjemput
nyata
Pertemuan yang ku[ilih sebagai pembunuh rindu hanya
menyapu sia-sia

Tak kudengar bisik lembutmu merambah sepiku
Menyudutkanku di batas gelisah yang mengunyah luka,
satu demi satu

Andai kau tahu.


Detik yang kuratapi, menjepit segala ruang yang
kusinggahi. Eribu catatan tentang cinta dan penantian
yang kualamatkan untuk satu nama, telah sampai pada
titik penghabisan. Tak ada lagi celah untuk pengecualian.

Segala dalil untuk membuatku kembali menghunus
damba, kuingkari dengan membiarkan kecewa dan laraku
mengendap dalam emosi yang membara. Membunuh
rindu untuk bangkit lagi. Menenggelamkan janji setia
pada altar tak berpenghuni.

Yang  kulihat hanya bayangan kesepian mencekik.
Mengulum warasku, tak bersisa. Yang kudekap hanya
kesendirian di atas jejak kenangan menyakitkan.

Ke mana akan kubawa duka yang bertahta ini?
Berlindung tak ada payung yang membentang, menangis
tak ada sandaran. Lembab udara yang berembus,
mengundang debu merangkul nalangsaku. Memungut
serpihan cinta yang mulai menghilang ditelan senja kala.

Masih adakah sejumput bahagia menjelma? Aku masih
saja mengesah mimpi menjadi nyata. Medulang ilusi
dengan sia-sia. Mendesahkan harapan yang tersisa tanpa
selera. Bisu membungkam maya. Rebah kaku dengan
tatapan mata yang terus menua. Dan aku tak tahu, di mana kini aku berada.


Menjaring cinta yang timbul tenggelam
di pelukan mimpi yang tak berkesudahan.
menyisakan perih yang meguruk tawa
pada buramnya kaca cermin yang terbelah.
Masihkah ada secuil hati yang tersisa untuk sendiriku?

Tak kucium sekelebat wangi mawar dalam gelisahku.
Tak kurengkuh syahdunya rindu yang mengetuk ruang
kegersanganku. Kemana kaki ini mesti berjalan mencari
sandaran hati yang bergeming untuk dambaku?

Ah, mungkin semua telah sia-sia atau memang jalanku
harus kesendirian dan termangu diam di batas
tanya cinta yang tak jua menyingkapnya tabir bahagia.
Aku pasrah!
Dan semoga aku belum kalah!


Inilah pilihanku:

Kuingkari cintaku dengan membiarkan kecewa
dan lara mengendap dalam emosi yang membara

Izinkan aku bunuh rindu biar bangkit lagi
Menenggelamkan janji setia pada jiwa-jiwa yang
meregang sepi
Melupakanmu dari tiap inci kenangan dalam hidupku
yang hampa


Kucari jejakmu yang terisap kangen tadi malam.
Membawa khyalku dalam rindu yang menggami
resah, lalu galau. Gundah menelinap di balik senyum
sederhanamu yang datang bersama gerimis pagi

Lalu...
Ada damba untuk memelukmu, seketika. Menggiring
serta cintamu saat mata beradu dalam ketulusan yang
tak bersyarat.

Lalu...
Jejakmu merunutkanku pada arakan cinta berkelok.
Menyisakan sepotong kemesraan yang menyisir indah di
butiran pasir basah.

Lalu...