Sunday, September 15, 2013

Cinta Secukupnya


Aku tak pernah berpikir mencintaimu, walau cuma sekejap.

Tapi yang terjadi tak ubahnya alur nasib yang terbalik.

Aku mencintaimu sejak kali pertama,

saat lembut sapamu terucap dan mata lugumu menggugat.

Tanpa kusadari lajunya, dua tahun sudah aku menunggumu.

Mengurungku dengan cinta satu-satunya.

Kubela tanpa harus aku bertanya-tanya.

Bukankah cinta memang tak pernah butuh alasan,

meski cuma satu huruf?! Sepertinya, iya..!



Inikah saatnya kuluruhkan keangkuhanku?!

Mendakwa satu rindu untukmu,

menepikan setiap inci logika menjadi cinta yang setia berdamai dengan palung jiwa.

Sepertinya, aku harus melakukannya!

Bukan semata rindu yang mengerontangkan bejana asa,

tapi lebih karena tulus yang menasihkannya.

Apa adanya, begitu saja!




Kuasamu  atas hatiku merambah belantara rindu

yang tak putus-putus menciumi titik pengakhirannya.

Merunduk malu dalam hasrat yang bergegas tulus untuk mencintaimu selamanya.

Tak lelah menapak dalam jejak yang tertatih-tatih menuju rumah hatimu.

Hanya padamu, kucari segala muara untuk bahagia

Yang kucercap di bibir yang tak lagi punya kata untuk memuji dan berjanji.

Aku cinta, ternyata!




Begitu bermaknanya sebuah kebersamaan.

Hingga ku tak tahu lagi dengan apa kutepikan adamu, sejenak saja.



Begitu menyesakkan dan menyisakan lirih seketika.

Saat kubuka mata, tahu-tahu aku tersadar,

kamu tak ada di dekatku hari ini.

Cinta ini begitu indahnya.

Hanya untukmu!




Saatnya, rebah khusyuk dalam doa untuk cinta yang kubela:



“Tuhan, aku setia menimang-nimang cinta satu-satunya.

Pada beningnya hati, milikmu, yang tak beriak.

Selalu memantulkan cahay biru dan kubisa bercermin darinya.

Hanya tampak wajahku yang mulai layu.



Tertebas segulung mimpi indah yang belum menjamah nyata.

Mengais satu demi satu, sisi jiwanya yang entah bersembunyi dimana.

Sejauh mata melihat, hanya teduh mata air-nya.

Selebihnya, aku tak tahu di mana kau simpan cintamu.



Tapi, aku tetap menimang-nimang dambaku.

Siapa tahu, suatu hari nanti bisa bertemu dan bersatu.

Seperti malam ini, setidaknya ada tatap mata

dan senyum lugunya yang mendamaikan lelehku.



Terima kasih Tuhan, untuk karunia-Mu

Dan semoga dambaku ini, bukan damba semu.”




Sapaku mulai tertatih mencari jejakmu.

Tak kudengar lembut bisikmu mengusik sepiku.

Berbisiklah meski hanya berdesir bersama angin.

Tak apa. Aku hanya ingin mendengar suaramu detik ini, itu saja!

Karena ternyata, sepiku tak usai.

Menyergap sadarku dari puing keterasingan.



Rinduku pun tak usai. Merapal namamu dari jerit ketakutan.

Cintaku pun tak juga usai. Memasung hatiku hanya untuk satu namamu.

Apakah ini nyata atau semu? Apakah ini janji atau semata ilusi?

Hanya kalam batinmu yang mampu mengurai.

Aku hanya mampu mengibarkan bendera tanda.

Selebihnya, biarlah dirimu yang mengulur benang talinya, itu saja!




Kemarin getar itu tampak begitu nyata.

Terpendar begitu saja dari cangkang keangkuanku yang

Merama-rama di tepian senja.

Hari ini, getar itu menggamit ragu. Tak terhunus karena diammu menengahi segala ruang.



Tapi sungguh, getar itu tak pernah hilang. Damba itu juga masih setia bersemayam dalam adaku.

Jika ini memang cinta, aku hanya tahu bagaimana cara mengungkapkannya dalam ketelanjangan apa adanya: dengan segenap raga, hati, dan jiwaku yang mengulum kepasrahan tanpa syarat.



Masihkah ragu menutup mata hatimu? Mestinya kamu tahu... awal yang kita jejak, semua mungkin terasa hanya menjadi sekelebat mimpi saja. Tapi kita tak pernah tahu, kalau rasa itu tiba-tiba sudah ada di depan mata. Dan tahu-tahu... semua berubah jadi begitu nyata.

1 comment: