Wednesday, October 23, 2013

Cinta Dalam Sepotong Cerita



Kepada Kamu, Cinta Itu

“Andai saja cinta itu, kamu. . .
pasti aku rela menyerahkan kepadamu, cinta itu.”

Masih ingatkah dengan sepotong kalimat itu? Tanpa tahu
dari mana datangnya kekuatan itu, dengan lancang aku
tulis untukmu. Dan kelancanganku itu ternyata berbuah
anugerah terindah bagiku karena tahu-tahu, kita
menjelma sepasang manusia yang saling bertukar cerita
demi cerita tanpa melalui perjumpaan nyata.

Memang terdengar absurd! Tapi itulah kita. Hanya
dengan sapa yang teretas di kala pagi dan senja yang
menjemput, kau dan aku tiba-tiba menjadi dekat.
Perlahan tapi pasti, endapan ‘rasa’ itu telah membentuk
gugusan bintang warna-warni yang memamerkan binar-
binar ceria

Tapi, kalau boleh aku bertanya: begitu bermaknakah
perjumpaan nyata buatmu? Kita beradu pandang tanpa
sekat jarak dan waktu, mengeja dalamnya diri dengan
praduga. Ahhh… tidak juga ternyata. Hanya lewat sapa
yang meretas di kala senja menjelma dan di saat mata
mulai terantuk di ujung kantuk, hadirmu melebihi wujud
bidadari. Setidaknya, dalam persepsi yang kucipta.

Lalu, selalu saja kucari-cari jejakmu di mana pun itu,
tanpa ragu. Meski hanya sekedar semu bayangmu,
yang kucetak dalam lamunku. Kenapa hadirmu yang
secepat embun itu menancapkan gelisah hingga aku tak
mampu melukiskan kekuatan apa sebenarnya yang telah
menggerogoti perasaanku?!

Ternyata, rasa itu datang begitu saja tanpa rencana. Tahu-
tahu, hadirmu yang sekejap menguras anganku tunduk
dalam syahdunya kata-kata yang memuja keindahan.
Tentangmu, bukan siapa-siapa, ternyata!!!

Tak ingin kulari, tak ingin kuingkari. Sama saja kukhianati
diri bila itu kulakukan. Mengapa? Ehhmmm… aku tak
perlu bertanya. Semestinya, biarkan saja semua mengalir
seperti air dan bermbus seperti angin. Air yang selalu
mengalir menuju muaranya, dan angin yang setia
menggelitik dedaunan senandung ninabobo.

Itulah kita! Menggurat cerita baru begitu saja. Tak peduli hari
telah mengetuk di bibir pagi. Tak peduli, jemari kita
belum saling menggenggam sampai detik ini. Yang aku
tahu, cerita itu ada. Cerita kita berdua, kau dan aku.

Siapa yang menyangka, tahu-tahu,
          “kita berdiri berjajajr menjelma sepasang pohon
                   bambu…
                             menjadi taing dan jembatan tanpa
                                      sebab…”

Aku ingin kamu tahu. Jelaga matamu telah membawaku
pada keindahan yang bertubi. Menyudutkanku di batas
damba yang merasuk maju tanpa henti. Jika ini realitas,
aku tak mau berhenti dan membiarkannya jadi basi.

Kepadamu, cinta itu. Kuyakin, pasti. Jika itu jawaban
yang ingin kausimpan untuk cerita indahmu, hari ini,
esok atau nanti. Seperti harapku yang ingin tenggelam
dalam magismu di senja yang mulai mengatup.
Merebahkan emosi dalam tatap ceria yang terpendar dari
indah dua bola matamu. Betapa bahagia ingin kuletupkan
sejuta puisi keindahan untuk setiap inci kenangan
yang telah tercipta detik itu. Merengkuhmu di timang
matahari yang mulai menguning, dan luluh dalam dahaga
rindu yang mengeletup bisu.

Semoga ini nyata dan bukan sia-sia…!

Yang pasti,
hadirmu membuatku termangu.

Dan,
maafkan jika aku tak mampu lagi menyembunyikan
perasaan ini. Maafkan jika aku selalu ingin
menyemayamkan wajahmu dalam asa yang tak henti
membasuh sepiku. Maafkan jika aku selalu menyulam
benang rindu di setiap jejak yang kupijak.

Seperti pagi ini,
maafkan jika ku tak mampu menahan rindu yang
bergejolak
hingga mata ini enggan terlelap
sampai bisa kubingkai indah matamu dalam mimpiku.

Kepada Sepi: yang Membunuhku
Aku bernapas dalam-dalam sambil memandang
jauh ke arah laut lepas. Ramai pejalan kaki dan lalu lalang
kendaraan menjadi pemandangan yang sejenak menyekat
pikiran.

Sejenak, desau roda kendaraan menyapu jalanan.
Menyadarkanku dari kesendirian. Sesaat aku terombang-
ambing di kursi kayu. Bertanya untuk apa aku di sini
seorang diri. Berada di antara ratusan pejalan kaki yang
melenggang bergandengan dengan menyungging senyum,
menebar tawa kegembiraan.

Sejenak, aku dihinggapi rasa iri yang menusuk dalam,
menggerogoti logika warasku tanpa perlawanan ketika
kudapati puluhan pasang mata berbinar duduk dibuai
kemesraan. Adan aku masih sendiri terpaku tanpa teman,
tanpa siapa-siapa.

Betapa menyesakkan hidup sepi di tengah keramaian.
Melintas detik demi detik dengan hanya berpelukan
pada asa yang tersisa, menggantungkan angan hanya
pada bayang-bayang semu, pudar lalu tercerai-berai
bersama awan. Asa tentangmu yang tak kunjung padam
kurengkuh meski dalam ketidakpastian. Bayang-bayang
semumu yang tak lelah kugapai di ujung tebing keraguan
beralaskan sembilu tajam.

Bilakah ada sedetik masa untukku dan untukmu
merangkai kembali barisan cerita rindu yang sempat
tertunda. Mungkinkah datang setitik nyala api yang
bisa mengobarkan waras jiwamu, membuka satu pintu
untukku. Biar bisa kulukis lagi lautan dengan senandung
keindahanmu. Biar bisa kuhias jalanan Kuta Bali dengan
renyah tawa senyummu. Biar rasa iri di dadaku sirna,
biar sendiriku tak hampa dalam keramaian.

Tapi mungkinkah cerita itu berulang? Sementara sampai
detik ini, di sendiriku yang bersandar pada langit kelam
dan gerimis yang satu-satu datang, aku masih saja
mematuk bayang-bayang, menggurat kesepian tanpa arah.
Hanya angin, pasir, dan deru kendaraan yang kucium
hambar.

Wednesday, September 25, 2013

Jangan Bodoh Mencari Jodoh

Berbicara jodoh, memang tiada habisnya. Sebagian besar manusia Indonesia adalah tipe manusia yang pasrah terhadap takdir jodoh mereka. Mereka beranggapan bahwa hidup, jodoh, dan mati sudah digariskan oleh Yang Mahakuasa. Mereka melupakan bahwa Sang Mahakuasa adalah setinggi-tinggi-Nya Kuasa yang mampu melakukan apa saja. Bahkan mengubah takdir yang sudah DIA tuliskan untuk manusia. Tetapi hal ini tidak banyak disadari oleh manusia, hingga pada akhirnya mereka menyerah dan pasrah menerima apa takdir mereka. Mereka berdalih itulah yang namanya ikhlas menerima kehendak-Nya. Padahal “ikhlas menerima kehendak-Nya” hanya berlaku bagi mereka yang sudah berusaha, ikhtiar sampai batas akhir kemampuan mereka, ditambah ibadah dan amalan-amalan lainnya. Jadi bagi mereka yang berdalih “ikhlas menerima kehendak-Nya” tetapi hanya bermalas-malasan, dan tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki dirinya adalah manusia yang merugi dan terlalu banyak excuse atau alasan.

Beberapa orang menjadi sensitif ketika kata jodoh mampir di telinga mereka. Entah karena sudah frustasi atau memang pernah tersakiti. Tetapi inilah realitas dan takdir yang sudah digariskan untuk semua makhluk ciptaan-Nya, bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Tak terhitung berapa banyaknya tokoh rekaan maupun nyata yang diceritakan sebagai mereka yang berpasangan. Sebut saja ada Rama-Sinta, Romeo-Juliet, Adam-Hawa. Tokoh-tokoh yang digaris hidupnya ditakdirkan untuk saling mengisi satu sama lain, dan dituliskan untuk saling melengkapi satu dengan lainnya.

Namun, kenapa jika sudah ada ketetapan dari-Nya tentang jodoh kita, masih banyak di antara kita yang ragu akan jodohnya masing-masing? Masih khawatir dan sangat sering bersikap tidak rasional? Seorang teman pernah mengeluh kepadaku. Dia dan pacarnya sudah pacaran hampir empat tahun, tetapi di tahun kelima mereka putus karena si wanita dijodohkan oleh orangtuanya. Dia sangat terpukul akibat kejadian tersebut. Apa jodoh yang menentukan orangtua? Dengan keyakinan 100 persen, aku jawab TIDAK. Orangtua kita hanyalah perantara atau media dari keputusan Allah swt tentang jodoh kita. Walaupun, orangtua memaksa bagaimanapun, jika dia bukan jodoh kita yang sudah dituliskan-Nya, kita tidak akan berjodoh dengannya. Hanya percayakan pada-Nya kalau jodoh untuk kita sudah disiapkan yang terbaik. Disiapkan yang benar-benar sesuai dengan kapasitas kita. Sesungguhnya yang benar-benar mengerti kapasitas kita dengan amat baik hanyalah Dia..

Jodoh untuk orang-orang baik adalah mereka yang baik pula. Bagaimana dengan orang yang tidak baik atau belum baik? Ya, jodohnya adalah mereka yang tidak baik atau belum baik. Jangan protes dulu sebelum baca penjelasan saya berikutnya.

Kadang kita heran, soalnya aku pun sendiri juga sangat heran ketika jalan-jalan di mal, di tempat keramaian, kita sering mellihat pasangan yang bahasa kasarnya jomplang(tidak seimbang). Kadang ceweknya cantiiiiiik banget tetapi cowoknya kurang ganteng. Atau sebaliknya. Bahkan mungkin yang lebih ekstrem, cowoknya sudah tua renta, sementara si cewek masih bugar layaknya anak SMA. Langsung saja dalam hati kita men-judge pasangan tersebut sebagai pasangan yang tak adil. Kenapa tak adil? Karena kita merasa yang lebih tampan atau cantik seharusnya mendampingi cewek cantik atau cowok tampan yang kita lihat. Sebenarnya itu pandangan yang keliru, karena apa yang kita lihat, itu hanya bagian luarnya saja. Bagian dari permukaan mereka. Seperti gunung es, yang hanya terlihat sepertiga bagian kecilnya di permukaan tetapi menyisakan dua pertiga bagian besarnya di bawah permukaan.

Jika kita tidak ingin karam seperti Titanic, janganlah kita men-judge orang dari penampilannya saja. Mungkin dia kurang tampan, tapi di sisi lain ibadahnya mungkin bagus, sedekahnya hebat, atau mungkin dia laki-laki dengan kadar kesetiaan tiada tara. Who Knows? Jadi, tidak usah protes dan jangan sirik lagi kalau melihat pasangan yang kita anggap jomplang. Kalau kita terus-terusan protes dan sirik, yang pertama kita dapat dosa, yang kedua jodoh idaman pun enggan mampir ke kita.

Misalnya kita terlahir dengan paras pas-pasan, harta pas-pasan, dan juga kelakuan pas-pasan. Lantas apakah kita mengharap jodoh yang “pas-pasan” juga? Maksudnya, pas dilihat menarik (tampan/cantik), pas butuh sesuatu, dia ada duit, pas kita butuh support, dia ada. Salah atau tidak? Tidak Slah. Apa takdir atau nasib bisa diubah? Bisa banget. Ada beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini. Tapi apa kita hanya diam dan menunggu jodoh impian kita dan dia akan datang menghampiri kita? Ini hal yang salah! Jika kita ngerasa ada yang kurang dalam diri kita dan kita mengharap jodoh yang lebih, sebenarnya gampang. Tingkatkan level kita sama seperti jodoh yang kita dambakan. Misalnya, shalat kita masih bolong-bolong, tetapi kita berharap punya jodoh yang rajin ibadah, rajin shalat, dan lain-lain. Pelan-pelan kita harus pantaskan diri untk jodoh kita tersebut. Tingkatkan shalat kita, biasakan sedekah, rajin-rajin baca Al-Qur’an. Atau misalnya kita berharap jodoh yang cantik atau tampan, tetapi kita sendiri lihat kaca kadang ogah karena gitu-gitu aja. Kalau wajah atau paras tidak bisa diubah, yang kita ubah adalah ketampanan dan kecantikan akhlak kita, kecantikan perilaku kita, kecantikan otak kita, dan lain-lain. Selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Selalu ada kemudahan bagi mereka yang sungguh-sungguh mengusahakannya, dan berjuang untuknya.


Jodoh itu tidak ditunggu, tetapi kitalah yang harus menjemput jodoh kita. Tidak perlu lari, tidak perlu naik tangga, cukup pantaskan diri kita seperti jodoh yang kita harapkan. Pantaskan diri kita seperti jodoh yang kita dambakan. Mustahil satu gelas kecil berharap menampung air satu galon, kalau kita berharap menampung air satu galon, jadikan diri kita seperti ember yang mampu menampungnya. Jadi, mulai sekarang tetapkan seperti apa jodoh dambaan kita. Dari kriteria yang sudah kita tetapkan, kita dapat mengukur diri kita sendiri seperti apa kita harus tingkatkan kualitas diri kita. Jangan banyak mikir dan menunda, sudah tuliskan saja dulu. Menulis itu tidak perlu bingung, tuliskan saja seperti kita menulis catatan sehari-hari kita. Ambil pensil atau bolpoin, ambil kertas, sudah. Tuliskan apa yang ada dipikiran kita dulu.

Sunday, September 22, 2013

Saatnya Bercinta & Bersedih


Sebuah Awal di Dekatmu

Jejak baru ingin kupijak. Saat ada teduh kutemukan di
matamu. Saat ceria kureguk bisu di dekatmu.

Ada getar yang membaur dalam desah dan bilur syahdu
mengeram dalam hasrat.
Tapi luka ini masih menganga. Penantian panjang yang
kujerat, ditelan mimpi kosong tak terjawab. Lara dan
pedih mengukir di ujung tangis yang tak berair. Masa lalu
pahitku tak lelah menghantui barisan hariku.

Ingin segera kutumpahkan segalanya pada pundak juwita
yang rela menyambutku tanpa tanya yang merajuk.
Mungkinkah? Sementara ragu mengulum dambaku
kembali tiada, hadirmu menggugahku untuk tertawa,
tiba-tiba. Menciumi bahagia meski baru sekejap.

Bisakah perjumpaan sesaat menjadi awal yang menuntun
getar pada tali kasih? Menjadi dua tiang dan jembatan
tanpa sebab. Menyemai arti dan menggamit mimpi,
bersamamu.


Biarkan Saja
Inikah sebuah pertanda? Pertama kali tatapku yang
bergulir nyata pada beningnya matamu, telah memasung
bahagiaku tanpa ampun. Tak peduli seberapa lemah getar
itu menyisir kalam batinku. Aku hanya tahu, ada rindu
yang kujaga untukmu.

Sampai detik ini, gersang dambaku merajuk senyap
di tempias lugu sapamu. Terpendar mencipta bintang
yang membiaskan terang pada teduh dua bola matamu.
Tiba-tiba, rinduku begitu telak menusuk kesendirianku.
Membawa anganku bergerak membingkai wajahmu
seketika. Detik ini, tak ada yang kuinginkan selain
menatap derai indah tawamu.

Mestinya, tak kubenamkan segala damba padamu.
Tapi ada daya, perjumpaan sesaat yang menyekat
sapaku terkurung di ruang hatimu, telah menggiring
mataku luluh dalam rindu. Tiba-tiba menjelma nyata,
memaksaku takluk dalam cinta yang menyulut bahagia
baru.

Biarpun sepi tak usai dan terus menyergap sadarku
dari keterasingan. Tapi setidaknya, aku mulai sadar…
rinduku pun tak juga usai. Merapal namamu dari jerit
ketakutanku. Menyesatkan cintaku yang tak surut
memamah usia. Mencatut hatimu menjadi satu-satunya
yang terindah, untukku…! Apakah ini nyata atau…
semu? Apakah ini janji atau sekedar ilusi? Hanya
palung batinmu yang mampu mengurai. Aku hanya
mengibarkan bendera tanda, selebihnya dirimulah yang
mesti mengulur bening talinya, untukku…

Dan, biarkan ini menjadi cinta, jika ini adalah segenap
rasaku yang berbicara. Biarkan ini menjadi nyata, jika ini
adalah hatiku yang jadi jembatannya. Biarkan ini menjadi
bahagia, jika ini adalah jalannya. Biarkan bahagia itu
sendiri yang mengurai segala warasku menjadi ada. Yang
pasti, bahagiaku ini ada untuk jadi nyata, bukan sia-sia…


Sepi Lagi
Selepas malam menggelayut gelap.
Sepiku merambah bayanganmu.
Beranjak pekat dalam kubang rindu yang tiba-tiba
menghanyutkanku.
Untuk mendesiskan namamu, dan mencipta wajahmu
seketika.
Tapi kenapa hanya kosong yang kudekap.
Jejak rindu berkelok pongah di ujung keakuannya.
Tanda cintamu masih saja berpihak pada langit semu.
Memaksa rinduku menepi dalam basi.

Sepertinya tak ada yang tersisa dariku selain rasa yang
menjerit dalam bejana asa yang merapal sedih.
Mata terantuk kosong, bibir kelu tanpa sapa.
Dan sekujur tubuh lunglai dalam dalam kepasrahan pilu.
Mungkinkah semua akan menciumi kefanaan dan
berakhir sia-sia?
Jika iya, lebih aku pergi dan memuja sepi untuk ke sekian
kalinya.


Menjamu Sedihmu
“Aku selalu berharap dia datang dan tiba-tiba rebah manja
Di dekatku, detik ini. Andai dambaku menjadi nyata-kan
kutuang kangen tanpa sisa…”

Kemarin, kalimat panjang itu kutulis dan kualamatkan
hanya untukmu. Dengan penuh pengharapan, inginku
menghabiskan barisan detik yang berlalu didekatmu.

Hari ini, kangenku menggugat lagi dan mendakwa tanpa
kompromi. Tapi justru sedih yang melukis lugu wajahmu.
begitu dalam kesedihan menguruk mimpi indah
yang bersemayam dalam lenamu, hingga ku tak kuasa
membendung tangismu.

Menangislah, Sayang…aku tak akan kemana. Kan
kujaga setiaku dalam sedih dan tawamu. Kan kujamu
setiap incin kesedihan dan kebahagiaan yang menggantung
di pelupuk dua bening matamu.

“Ditempias kangen yang menggugat sepi meraja,
kucoba merasakan dan mengendapkan kesedihanmu.
hanya maafku yang tersisa karena aku tak ada di sana
bersamamu.”


Semoga Nyata
Detik yang kupeluk, telah menyekat mataku pada
detak jam yang menunjuk angka 04.28 dini hari. Ada sunyi
Yang tiba-tiba hadir…
memaksaku terdiam sejeak dalam bius cakrawala pagi
tanpa kata-kata.

Satu detik melaju tanpa kusadari…
Satu menit melibas anganku tanpa apa-apa…

Dan…
Saat kupasung mataku dalam tidur lena, semua tampak
Begitu nyata. Dalam mimpiku, kutamui kau dengan
senyum menjelma. Apa adanya dan seutuhnya.
Meninggalkan sepotong kangen yang merenggut sadarku
ketika matahari membiaskan sinar kemilaunya di balik
jendela.

Ah, sedang apa dia?
Semoga saja awan yang berarak membawa pesan
kangenku yang kini mulai setia dalam alurnya. Semoga
ia tetap menjadi pria biasa yang membiarkan tubuhnya
sedikit basah oleh hujan senja. Ketika itu, ia begitu
memesona…

Semoga saja ini nyata…


Jika Selamanya
Apakah ini saatnya untuk membunuh perasaanku.
Melepaskan segala rindu yang mengendap menjadi debu
beterbangan, bersatu bersama langit yang membentang,
Apakah aku mampu? Sementara perasaan ini telah
menjelma prasasti yang membatu. Hidup di segala adaku.
Dalam diam, jarak, bahkan luka sekalipun.

Betapa susah memahami arti diri. Betapa sulit menyelami
maunya hati. Jalan membentang bertabur kasing yang
kugelar, tak juga membuatmu bergeming, segala adaku
telah kubuka untukmu tanpa tirai sehelai pun.

Jika memang akhirnya aku harus membunuh perasaan
ini, izinkan aku untuk tetap mengenangmu. Tidak
juga karena apa, cinta sejati tak bisa dibunuh pun
bunuh diri. Dia akan tetap mengalir di setiap alunan
nada kasih yang menggema di jagad maya. Izinkan aku
tetap mencintaimu, walau hanya dalam diam, dalam
senyap. Hingga suratan takdir membukakan rahasia
kalamnya. Mungkin hanya dengan cara itu, aku bisa tetap
mencintaimu. Walau mungkin, tak pernah nyata juga
akhirnya.

Ada jera menderu dalam kalap cintaku. Merobek
janji hati yang memahat batu. Kobar rindu yang
pernah memanaskan tungku di ujung penantian ini,
perlahan meleleh dalam ego yang mulai runtuh. Dingin
menghanyutkan di ruang hampa. Hanya bisa mendesis
panjang menyebut namamu, tapi tersia-sia. Luruh bersatu
dengan tanah. Haruskah jera ini menguntit di sendiriku
yang makin mematikan? Dalam cengkeraman rindu
mendendam. Sekerat di batas mimpi semu.

Monday, September 16, 2013

Terlelaplah Dalam Bahagia



Sekiranya cinta melukis bahagiamu malam ini,
aku inginkan ia setia mendampingimu di setiap jejakmu
Menjagamu dari setiap luka yang coba mengecupmu

Semoga cinta selalu ada untukmu, secukupnya
Tak kurang tak lebih
Semoga senyum mendakwa indah dalam tidurmu


Bermalam-malam telah kusisakan separuh mimpi
indahku, untukmu
Hanya karena aku tak mau kau disekap gelisah yang
mengasuh pilu

Izinkan aku, menitipkan kata “selamat tidur” untukmu
dan tersenyumlah...
Karena itu telah cukup bagiku
Bahkan, lebih dari cukup untuk bahagiaku
Berbahagialah dalam tidurmu, malam ini.


Sampai mata ini enggan terlelap dalam rayuan mimpi,
aku masih saja berharap bisa mendengar bisik lembutmu
mengusik sepi
Menelusup tiba-tiba tanpa permisi

Meski lelahku telah menembus batas kantuk,
tak jua bisa kutepikan kangenk walau sekejap
Merama-rama di langit kamar,
mengundang bayangmu untuk hadir, lagi


Sepotong kebersamaan telah mencetak jejak yang
begitu berarti
Menggurat cerita rindu pada dinding jiwa yang terpatri
Tak ada kata basi!

Begitu jarak menyekat tatap, ingin ku segera kembali
Bersandar manja di bahumu
dan tidur terlena dalam genggaman jemarimu
Andai itu terjadi.


Hingga kata-kata tak lagi mampu bicara
Geliat desah manja menguap dengan sengaja
Di jemari pagi, kutilas lagi bahagianya hati memapah
cintamu dalam barisan hari tanpa henti

Tak sabar ingin kubersandar dan rebah lelap di dadamu
Menumpahkan dan meluluhkan kangen yang
bersemayam tak mau padam
Menangis dan tertawa dalam bahagia di atas namamu,
Seorang


Sadarku makin nyata
setiap kali kuantarkan engkah rebah manja
dalam pelukan mimpi surga diiringi doa-doa
yang ditasbihkan

Bahwa ternyata,
hanya pada kepasrahan tanpa syarat
hati kita saling bertaut
Dan pada Tuhan yang punya kuasa hidup
Kita pasrahkan diri


Jelajahi lautan hatimu,
menebar keteduhan pada binar mata yang mengepung
gulita malammu

Kuingin baikmu, kuingin syahdumu
Membilas segala penat,
merobek kelabunya diri dengan senyum malaikat
Jaga diri, selamat berlabuh di pelangi nirwana malam ini


Melibas gelisah, memamah resah pada gerimis yang basah
Terlupa semua khayalku akan rekah bahagia yang masih
bersembunyi pada arakan risau lemah
Meniti tak pasti di jembatan hatimu, mnguras lelah
yang menjamah

Dan...
Aku masih betah menunggu matamu yang selalu indah
hingga mata ini takluk rebah dalam buaian mimpi indah
merekah